Slider 1 Slider 2 Slider 3 Slider 4 Slider 5 Slider 6

Dibalik Senyum Tulusmu

Rintik hujan menetes dari luar kamarku. Aku menatap hampa ke atas langit kelabu yang sejak pagi tidak menampakkan sinarnya. Hari ini seolah ikut berduka dengan keadaanku. Demam. Ya, tepatnya aku demam. Dan ini menjadi alasanku untuk tidak mengikuti pelajaran di sekolah.
Kualihkan tatapanku pada handphone yang sedari tadi bergetar di sisi tempat tidur. Terlihat pesan dari Aninda, salah satu teman akrabku, namun aku tak ingin menyebutnya sebagai sahabat.
“Risya kenapa tadi pagi nggak sekolah?”
“Kurang enak badan, Nin.” balasku singkat.
Seorang wanita cantik masuk dari balik pintu. Senyum cerahnya membuatku tak kuasa untuk membalasnya.
“Bagaimana keadaanmu, sayang? Masih sakit kepalanya?” tanya bunda sambil mengusap lembut dahiku.
“Lumayan, bunda. Mungkin besok bisa sekolah.”
“Kalau belum kuat, izin dulu sehari lagi,” saran bunda.
“InsyaAllah kuat. Risya nggak mau ketinggalan pelajaran.”
“Ya sudah, tenangkan fikiran dulu. Kesehatan Risya itu segalanya buat bunda. Jaga diri baik-baik, nak.”
“Iya bunda.. Makasih ya,” ujarku seraya memeluk bunda. Kupendamkan wajahku di jilbab panjang yang selama ini menutupi kecantikannya.
“Jangan lupa berdoa ya, nak. Karena segala sesuatu, apapun itu, dapat terwujud karena Allah, termasuk kesembuhanmu juga.”
“Iya bunda sayang, lagian Risya cuma demam, besok juga sembuh.”
Ini yang kusuka dari bunda. Selalu mengingatkanku untuk berdoa, beribadah. Bunda memotivasiku untuk belajar, selalu memberi semangat disaatku lemah. Bunda segalanya bagiku.
“Risya sayang bunda,” bisikku pelan. Hangat dekapannya menghangatkan kalbuku, seolah tak ingin lepas darinya.
Pagi ini tak seperti kemarin. Semangat sang mentari mampu membuatku tersenyum dan menghilangkan kegundahan yang akhir-akhir ini menyelimuti hati. Mengundang burung-burung untuk menari-nari mengepakkan sayapnya di pohon-pohon yang rindang.
Aku berjalan keluar dengan tas abu-abu yang senantiasa menggelayuti punggungku. Jilbab putihku tertiup angin pagi disertai jatuhan embun dari pepohonan. Jalanan di kompleks ini terlihat sepi, hanya ada satu-dua orang yang pergi ke pasar untuk berjualan, memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Risya,” panggil suara jernih yang lumayan akrab di telingaku. Aku menoleh dan tersenyum kecil ke arah pemilik suara itu. Ia sedikit berlari dengan membiarkan rambutnya terurai bebas, sesekali ia membetulkan kacamatanya.
“Sendirian, sya?” sapa Ferlyn setelah berjalan sejajar denganku.
“Seperti biasa,” jawabku singkat.
Gadis cantik yang dibalut seragam putih biru itu tersenyum manis kearahku. Lalu menatap kosong ke jalan trotoar yang sedang kami lalui. Seketika hening…
“Kemarin nggak sekolah. Kenapa?” tanyanya mengupas kesunyian.
“Biasa, penyakit musiman kambuh,” jawabku polos.
“Ah, bisa saja kamu! Oh ya, kemarin Bu Fauziah memintamu untuk menemuinya di ruang guru.”
“Kapan aku bisa kesana?” tanyaku dengan diliputi sejuta rasa penasaran.
“Secepatnya. Kalau bisa jam istirahat.”
“Makasih ya, Fer. Ehm, kira-kira ada apa ya Bu Fauziah memanggilku?”
“Entahlah, mungkin nilai agamamu bagus. Oh, bukan mungkin, tapi itu pasti,” timpal Ferlyn. Aku hanya tersenyum tipis mendengar tanggapan Ferlyn yang mungkin mengada-ada itu.
Teettt.. Teeeettt..
Bel berbunyi dua kali, pertanda istirahat. Aku pun beranjak menuju ruang guru untuk menemui Bu Fauziah.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam, Risya. Silahkan masuk,” jawab Bu Fauziah dan mempersilahkanku duduk di depannya.
“Kamu sudah bertemu temanmu itu, ya? Siapa itu namanya, yang cantik berkacamata itu?” tanya Bu Fauziah sambil memejamkan mata. Mungkin mencoba mengingat sesuatu.
“Ferlyn, bu,” sambarku cepat.
“Oh iya.. Sudah, langsung saja, ya.” Perkataan beliau semakin membuatku penasaran. “Dua minggu lagi akan diadakan Musabaqah Tilawatil Qur’an. Mungkin kamu bisa mewakili sekolah ini. Kami berharap kamu dapat memberikan yang terbaik. Kamu mau, kan?”
“Alhamdulillah,” ucapku pelan seraya mengatupkan kedua tangan di wajahku.
“Ini baru seleksi antar sekolah. Jika kamu terpilih, kamu dapat melanjutkan ke tingkat kabupaten dan seterusnya. Maka dari itu kami berharap banyak padamu.”
“InsyaAllah, bu. Saya akan terus berlatih dan juga saya meminta doa dari ibu dan guru-guru lainnya,” jawabku dengan wajah penuh senyum.
Aku segera keluar ruangan. Fikiranku melayang-layang di alam bawah sadar, mulai berkhayal tentang ini-itu. Aku mulai membayangkan wajah bunda diliputi kebanggaan, dan juga ayah yang telah mendukungku selama ini. Ah, mungkin terlalu berlebihan. Ini baru perwakilan sekolah, bukan tingkat yang lebih tinggi.
“Assalamu’alaikum,” ucapku memberi salam sambil membuka pintu. Krek. Dikunci. Ada apa ini? Ayah dan bunda kemana? Pergi? Jutaan tanda tanya mengambang di fikiranku.
“Risya, ini kunci rumah. Ayahmu mengantar bunda ke rumah sakit. Kamu telepon saja dan langsung menyusul mereka.” kata Mbak Mia, tetangga sebelah rumahku.
Aku hanya bingung, memasang muka datar. Antara bingung, heran, takut, penasaran, semua perasaan menyelimuti hatiku. Menimbulkan kegundahan yang selama ini tak pernah terbayangkan. “Bunda sakit apa?” Oh, mungkin hanya periksa kesehatan. Ya, aku coba berfikir se-positif mungkin.
Sesegera mungkin aku memasangkan kunci pada badannya, membuka pintu, dan segera berlari menuju kamar untuk mengambil handphone.
Tuuut.. Tuuut.. Lama, belum ada jawaban. Fikiranku semakin tak menentu. Aku panik, hatiku rasanya berkecamuk. Tapi kucoba berfikiran positif, berfikir sebaik mungkin agar tidak terjadi hal yang berarti dengan bunda.
“Ayah! Bunda mana? Ada apa?” tanyaku setelah mendapat jawaban.
“Assalamu’alaikum, Risya. Kamu segera ke Rumah Sakit Bhakti Husada. Ayah dan bunda disini,” suara ayah menggema dari seberang sana. Tuut. Telepon diputus.
“Wa’alaikumsalam, ayah.” lirihku.
Aku segera berlari menuju perempatan. Berharap ada angkutan ataupun tumpangan yang sukarela mau mengantarkanku. Lama aku menunggu.. Dua menit.. Lima menit.. Sepuluh menit.. Aku melihat handphone secara berkala, berharap ada suatu informasi yang dapat sedikit menenangkanku.
Sebuah angkutan umum melintas, dan berhenti tepat di depan tempatku berpijak. Aku segera naik, meskipun sesak. Kendaraan ini penuh dengan orang-orang yang memiliki tujuannya masing-masing.
“Rumah Sakit Bhakti Husada ya, pak.”
Ibu-ibu yang ada di agkutan itu sontak menoleh kearahku. Entah apa yang mereka fikirkan. Tapi aku tak menghiraukannya. Fikiranku masih tersita pada bunda.
Angkutan yang kutumpangi berhenti tepat pada tempat yang dituju. Aku langsung turun dan memberi ongkos pada pak supir, tanpa mengingat kembalian.
“Dek! Kembaliannya, dek!” teriak pak supir dari kejauhan. Aku terus berlari, tanpa menghiraukan sekitar.
Berlari tak tentu arah, itu tepatnya yang sedang kulakukan sekarang. Berhenti sejenak, untuk menanyakan ruangan ibu. Dan bodohnya, aku tak tahu ruangan ibu dimana dan nomer berapa. Aku berhenti sejenak dan mencoba menghubungi ayah. Tapi, seseorang yang ku kenal sedang duduk di depan ruang UGD sambil menundukkan kepalanya.
“Ayah!”
Ayah mengangkat wajahnya dan memastikan apakah ia yang dipanggil. Ia langsung berdiri dengan bekas air mata di pipinya. Aku memeluk tubuh besar yang senantiasa melindungiku dan bunda. Namun, ayah tak kuasa menahan tangis sehingga membuatku turut dalam kesedihan.
“Bunda kenapa yaah?” tanyaku disela air mata yang jatuh.
“Bunda kritis, nak. Sekarang sedang ditangani dokter. Kita berdoa saja untuk kesembuhannya.”
“Memangnya bunda sakit apa? Kenapa Risya tidak tahu?”
Ayah terdiam, tertunduk dan menenggalamkan wajahnya di kepalaku. Hening.
“Bundamu terkena kanker otak.” jawab ayah pelan.
“Kenapa selama ini Risya tidak diberi tahu, yah? Kenapa semuanya membohongi Risya?” Suaraku meninggi diiringi jeritan tangis yang tak kuasa kubendung lagi. Lagi-lagi ayah diam, membisu.
“Sekarang waktunya kita berdoa, menunggu kepastian. Tak ada lagi yang perlu diperdebatkan, Risya.”
Aku diam seribu bahasa, mataku tertuju pada ruang UGD yang tak pernah kubayangkan selama ini. Air mata terus mengalir deras di pipiku. Sesekalli, kuusap kedua belah mataku dengan jilbab putih yang sudah basah. “Bunda harus kuat. Harus! Aku tak pernah mengenal bunda yang lemah.” batinku bergejolak.
Lama aku dan ayah menunggu, belum ada kepastian dari dokter yang menangani bunda. Ayah masih bergelut dengan Al-Qur’an kecil yang senantiasa ia bawa. Sementara aku, hanya menangis dengan ketidakpastian. Mengingat dimana bunda menenangkanku kemarin, senyum bunda yang tulus, ketegaran bunda, ternyata dibalik itu semua bunda menyimpan kelemahan, kelemahan yang tidak pernah dibuka untukku.
“Keluarga Ibu Khanisa?” tanya dokter saat keluar ruangan.
“Ya, dok,” ujar ayah segera menghampiri lelaki berseragam putih itu.
“Mari ikut saya.”
Aku segera berlari menemui suster yang ada disana, menanyakan keadaan bunda. Aku menaruh harapan pada suster itu, agar memberikan jawaban terbaiknya.
“Adik bisa lihat di dalam,” ujarnya datar.
Langkahku pelan, namun pasti. Perlahan-lahan aku memasuki ruangan itu. Dingin, obat, itulah yang menyambutku. Kulihat beberapa perawat mengelilingi bunda.
“Bunda.” ujarku pelan. Tak ada jawaban. Bunda mematung. Tabung oksigen telah dilepas dari mulutnya. Bunda! Aku memegang tangan bunda yang dingin. BUNDAAA!!! Jeritan tak dapat ku hindari. Kudekap tubuh yang selama ini telah merawatku, namun kini telah kaku.
“Innalillahi Wainnailaihi Roji’un.” suara seorang ayah terdengar berat di belakangku. Kudekap tubuh ayah. Aku hanya bisa menangis dipeluknya.
“Ayah! Ini nggak mungkin, kan? Risya mimpi, kan, yah? Bunda cuma istirahat, kan?” tanyaku bertubi-tubi. Tak henti-henti mata ini mengeluarkan curahannya. Namun ayah tetap membisu, terpaku ditempatnya berpijak. “Ayah jawab Risya! Bangunkan bunda, yah!”
Tiga hari setelah kepergian bunda. Namun raga ini, fikiran ini selalu teringat akan bunda. Dimana bunda baru kemarin menenangkanku, mengusap kepalaku, memeluk tubuhku. Namun kini, bunda telah istirahat di pembaringan terakhirnya. Tidur lelap untuk selamanya, disisi Allah.
Dibalik kekalutan ini, aku rindu senyum bunda. Aku rindu ketegarannya. Aku rindu kasih sayangnya, ketulusannya, kelambutannya, sikap keibuannya. Kapan aku bisa melihat senyumnya lagi? Mungkin memang bunda sedang tersenyum di atas sana, menatapku dengan penuh kebahagiaan.
Ternyata dibalik senyumnya, bunda menyimpan sejuta kepedihan, sejuta kekalutan yang ditutup dari. Kekalutan yang bunda jaga sendiri, tanpa mau dibagi untukku.
Langit sore terlihat kemerahan, aku masih enggan beranjak dari tempat duduk ini. Sejenak membiarkan airmata ini mengalir, berharap bunda tahu isi hatiku, dimana aku sangat ingin mendekap tubuh bunda.
“Ikhlaskan bunda, Risya. Biarkan bunda tersenyum. Ini sudah takdir Allah,” sahut suara dari belakang. “Bunda hanya butuh doa, bukan tangisan.”
Ya, ikhlas! Itu yang kucoba saat ini. Mungkin ini yang dapat membuat bunda tersenyum, meski aku tak tahu itu.


sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/dibalik-senyum-tulusmu.html

Segi Empat

Mereka adalah 5 sahabat. 5 sahabat yang tak terpisahkan dari SMP sampai sekarang sudah lulus kuliah. Mereka terdiri dari Revand, Fadil, Johan, Mutiara dan Shasa. Kemana-mana, mereka selalu bersama-sama. Jalan bareng sudah menjadi ritual wajib mereka di malam Minggu.
Suatu malam Minggu, mereka tak ada niat untuk jalan-jalan. Mereka lebih memilih untuk pergi ke rumah Fadil yang besar. Nonton DVD, main playstation dan ngobrol-ngobrol sampai larut malam. Mereka semua tertawa ceria. Tapi, ada satu orang yang diperhatikan Mutiara. Dia lah Fadil. Kenapa? Entah. Mutiara sendiri bingung kenapa. Dia hanya senang saja melihat Fadil. Senang melihat dia gembira seperti itu. Dan alasan Mutiara bergabung dengan kelompok ini adalah, ingin berdekatan dengan Fadil.
“Guys, bosen nih.” kata Johan. “Iya, dari tadi kita ngobrol terus.” kata Revand. “Gimana kalo kita bikin games. Kita ceritain pengalaman kita paling sedih. Yang menang, dapat sebagian jatah makan kita malam ini.” kata Fadil. “Setuju!” teriak Shasa. “Gimana? Semua setuju?” tanya Fadil. Yang lain mengangguk. Aku akan setuju apapun yang kamu katakan, Dil, batin Mutiara berkata. Dan cerita mereka pun dimulai.
Semua sudah cerita. Sekarang tiba giliran Shasa. “Cerita aku ini, cerita cinta. Aku jatuh cinta, sama seorang pria yang udah deket banget sama gua, bertahun-tahun. Bertahun sudah aku memendam rasa ke dia, sejak pertama kita berdua bertemu. Tapi, sepertinya pria ini tidak pernah tahu. Aku sudah berusaha untuk menghilangkan perasaan ini, namun tidak bisa. Semakin aku berusaha, semakin kuat. Dan akhirnya, aku memutuskan untuk menyerah, dan menunggu dia peka.” ujar Shasa. Semua larut dalam cerita sedih Shasa. “Baik, diputuskan cerita paling sedih malam ini adalah cerita dari…” kata Fadhil. “Shasa!” teriak mereka bersamaan. Dan Shasa mendapatkan 5 bungkus snack sebagai hadiah mereka.
Sepulangnya dari rumah Fadhil, Johan dan Revand sedang beristirahat di kamar kos mereka. Johan menatap Revand dan berkata “Mau sampai kapan, Vand? Kamu memendam rasa itu ke dia?” tanya Johan. “Enggak tahu lah, Jo. Saya… terlalu pengecut.” ujar Revand. “Kamu enggak boleh begitu! Aku kenal kamu dan dia sudah lama, sudah bertahun-tahun! Aku yakin, dia akan menerima kamu. Percaya deh!” ujar Johan. Revand hanya terdiam, membayangkan itu benar-benar terjadi.
Sahabat-sahabatnya sudah pulang. Tinggal Fadhil sendirian di kamarnya. Setiap kunjungan teman-temannya itu selalu menyenangkan. Apalagi, kalau ada dia. Tertawa bersama. Dan, Fadhil beranjak ke meja nya. Memandangi foto mereka berlima. Selamat malam, kamu yang di sana, batin Fadhil. Batin Fadhil mengucap, pada salah satu wanita yang ada di foto itu.
Hari Minggu pagi. Mutiara dan Shasa memutuskan untuk pergi berbelanja. Hanya mereka berdua, karena cowok-cowok tidak suka belanja. Para wanita kalau sudah belanja, seperti biasa, suka seru sendiri sampai lupa waktu.
Mereka istirahat makan siang di sebuah restoran. Tas-tas belanja mereka yang penuh mereka taruh di kursi sebelah. Sembari menunggu pesanan mereka datang, mereka ngobrol-ngobrol. Atau lebh tepatnya, curhat.
“Mut, kamu ingat kan cerita ku semalam di rumah Fadhil?” tanya Shasa. “Ingat. Memangnya, siapa sih? Kayaknya perasaan kamu ke dia dalam sekali ya?” tanya Mutiara. “Iya, Mut. Dia…” Dan Shasa menyebutkan satu nama. Mutiara terkejut. “Jadi, selama ini kamu suka sama dia? Kenapa kamu nggak bilang ke orangnya saja?” tanya Mutiara. “Enggak mungkin, Mut. Kita kan sudah deket banget, bertahun-tahun. Lagi pula, aku kan cewek. Masa iya ngomong duluan?” kata Shasa. Mutiara berkata “Sampai kapan, Sha? Kamu gak capek?” tanya Mutiara. “Dibilang capek sih, iya. Tapi, aku bisa apa?” kata Shasa. Pesanan mereka datang, dan mereka makan dalam diam.
Malam Minggu berikutnya, Johan datang ke rumah Fadhil. “Loh, yang lain kemana, Jo?” tanya Fadhil. “Revand lembur, Mutiara ke rumah saudara, Shasa ada urusan mendadak sama bosnya. Aku bete sendirian di kost-an, jadi ke sini deh. Enggak ganggu, kan?” tanya Johan. “Enggak, kok. Ayo masuk! Langsung ke kamar aku aja! Aku mau mandi dulu.” kata Fadhil. Dan Johan pun naik ke kamar Fadhil.
Johan menunggu sambil duduk-duduk di kasur, baca majalah otomotif. Lalu, dia iseng melihat-lihat meja Fadhil. Namun, perhatiannya terpaku di satu hal. Foto mereka berlima. Namun, Fadhil melingkari foto itu pada salah satu wanita di antara mereka. Johan mengerti apa arti ini semua. 2 sahabatnya, jatuh cinta pada 2 sahabatnya yang lain.
Tak lama, Fadhil masuk kamar. Dia mendapati Johan duduk di kursinya, memperhatikan foto yang sudah selama ini dia sembunyikan jika teman-temannya main ke sini. “Jo…” panggil Fadhil. Johan menoleh, buru-buru mengembalikan foto itu. “Ada apa?” tanya Johan. Fadhil berjalan mendekatinya dan duduk di sampingnya. “Aku suka sama dia, Jo. Sudah lama.” kata Fadhi;. “Terus, kenapa kamu enggak bilang ke dia?” tanya Johan. “Aku rasa dia enggak suka sama aku.” kata Fadhil. Johan terdiam sebentar, lalu berkata “Aku yakin dia juga suka sama kamu. Coba aja kamu usaha dulu.” dan Fadhil pun hanya mengangguk. Diam-diam, Johan mempunyai rencana untuk menyatukan cinta keempat sahabatnya ini.
Mereka bersiap dengan tas mereka. Segala barang bawaan mereka sudah siap di bagasi mobil Fadhil kecuali makanan. Mereka sadar, anakonda dalam perut mereka cepat lapar, hahaha. Hari itu, mereka akan berlibur ke villa punya keluarga Mutiara di Puncak. Ini ide Johan, yang ingin melewatkan libur panjang akhir tahun bersama sahabat-sahabatnya. “Semua sudah siap?” tanya Fadhil dari kursi pengemudi. “Siap, boss!” sahut mereka bersamaan. Fadhil duduk di belakang setir, Mutiara di sampingnya. Di belakang Fadhil duduk Johan, dekat pintu. Di tengah duduk Shasa, dan di samping kiri Shasa dudul Revand. Dan mereka pun berangkat.
Perjalanan itu sungguh menyenangkan. Seperti biasa, lelucon memenuhi perjalanan mereka. Stok makanan habis di tengah jalan, dan mereka berhenti sebentar di mini market untuk membeli makanan yang lain. Seluruh perjalanan itu benar-benar mereka nikmati. “Kamu sungguh keren duduk di belakang setir, Dhil” batin Muthiara. “Senang rasanya, bisa satu mobil denganmu. Menghabiskan waktu libur bersamamu.” batin Fadhil. “Kamu tampak keren pakai jaket cokelat itu.” batin Shasa. “Kacamata hitam itu membuatmu tampak sempurna.” batin Revand.
Mereka sampai di villa Mutiara. Villa yang sangat bagus, dilatarbelakangi pemandangan indah. “Oke, semua kamar ada di lantai 2. Sa, kamar kita yang ini. Buat kalian cowok-cowok, kamar kalian di sebelah situ.” kata Mutiara. Kamar mereka berseberangan. Dipisahkan oleh jalan menuju balkon, yang juga merupakan penghubung antara kamar mereka.
Malam Tahun Baru. Ramai-ramai mereka bakar-bakaran. Jagung, Ayam, BBQ.
Sembari menunggu jam 12, Johan membuat sebuah permainan yang dimainkan secara berpasangan. Revand dengan Mutiara dan Fadhil dengan Shasa. Permainannya mudah, mereka hanya disuruh untuk memasang peralatan kemah, lengkap dengan api unggunnya. Johan yang akan jadi juri. Yang mampu memasang peralatan kemah dengan cepat dan rapi, dia yang jadi pemenang. Buat yang kalah, harus menuruti apa yang pemenang katakan. Dan alhasil, Revand dan Mutiara harus merapikan kembali peralatan itu karena mereka kalah. Lalu, tepat saat jam 12 malam, mereka meniup terompet dan menyalakan kembang api. Malam itu mereka lewati dengan gembira.
Jam 2 malam. Shasa tak bisa tidur. Dia memutuskan untuk ke balkon. Di balkon, dia mendapati seseorang berdiri di sana. Dia Fadhil. “Hei, enggak tidur?” tanya Fadhil. “Aku enggak bisa tidur.” kata Shasa. “Sama.” kata Fadhil. Fadhil terlihat gugup. Shasa bertanya “Ada apa?”. Fadhil terlihat semakin gugup, dan akhirnya Fadhil berkata. “Sha, aku suka sama kamu.”. Shasa terkejut. Kenapa…? Dan Shasa menjawab “Terima kasih, Dhil. Tapi… bukan kamu, Dhil.” kata Shasa. Fadhil kaget. “Yang ada di sini” dia menunjuk hatinya “adalah Revand.” ujar Shasa. Fadhil tidak menyangka, tapi entah kenapa dia merasa lega. Lega karena apa yang ingin ia sampaikan akhirnya terucap.
“Tapi, Mutiara lah yang…” lanjutan kalimat Shasa membuat Fadhil terkesiap. “Mutiara…” batin Fadhil. Dan, dia merasa bersalah pada dirinya sendiri.
Tapi, ternyata bukan hanya mereka berdua saja yang terbangun. Revand terbangun, dan dia mendengar namanya di sebut oleh Shasa. “Jadi selama ini Shasa…” batin Revand. Padahal selama ini, Mutiara lah yang ada di hatinya. Dan dia sudah menyia-nyiakan orang yang mencintai dia dengan tulus. Revand bangun, menatap langit-langit kamar seolah meminta jawaban atas kejadian membingungkan ini.
Sementara di kamar seberang, Mutiara terpejam, tapi dia mendengar. Dia mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut Fadhil. Dan, dia tak kuat menahan tangisnya.
Lalu, Revand dan Mutiara keluar dari kamar mereka, menuju ke balkon tempat Shasa dan Fadhil berdiri. Revand berdiri di sebelah Shasa, dan membiarkan Shasa bersandar pada bahunya. Sementara Fadhil mendekati Mutiara, dan menghapus air mata di pipinya.
Dan, 2 pasangan baru lahir, di malam Tahun Baru ini.

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-cinta/segi-empat.html

Denting Piano

Malam yang begitu sunyi, bulan purnama yang menemaniku perlahan hilang ditelan gelapnya awan hitam. Perlahan aku rebahkan tubuhku di atas ranjang kayu nan reot ini, yah inilah kehidupanku seorang anak tukang sayur.
“Joe ayo bangun sudah pagi” teriak seorang ibu-ibu yang sudah tua
Aku bergegas pergi meninggalkan ranjangku ini dan pergi mandi. “bu, aku pergi dulu ya assalamualaikum” pamitku pada ibu.
Dalam hatiku sejenak aku berpikir bahwa kalau begini terus hidupku tak akan berubah, maka aku bulatkan tekad untuk bekerja keras, aku ingin membeli sebuah piano kecil untukku tapi itu hanya khayalku. Aku melihat ada seorang membagikan brosur, yang berisikan “IKUTI LOMBA PIANO YANG BERHADIAH Rp. 50 juta”
Aku ingin mengikuti lomba itu tapi, tapi apa bisa?, hingga pada suatu hari aku melihat ada piano bekas yang dijual, aku berniat membeli tapi uamgku tidak cukup, akhirnya orang itu memberikan keringanan dengan mencicilnya untukku.
Dan tibalah saat aku mengikuti lomba, rasanya sangat deg-degan, nomor urutku dipanggil aku menaiki panggung dengan percaya diri!, denting piano ini akan menjadi saksi bahwa perjuanganku harus mendapatkan hasil yamg memuaskan.

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-anak/denting-piano.html

Tari Remo

Tari selamat datang ini ditampilkan untuk menggambarkan karakter dinamis masyarakat Surabaya atau Jawa Timur, tarian ini sebenarnya menceritakan tentang perjuangan dan keberanian seorang pangeran dalam perang. Belakangan tari ini diperagakan sebagai penyambutan tamu negara maupun dalam festival kesenian daerah.
Tari yang merupakan daya tarik seni dan budaya kota Surabaya diiringi oleh alat musik gamelan. Dan lagu pengiring yang biasa dimainkan antara lain: gending jula-juli Suroboyo tropongan, walang kekek, gedong rancak, krucilan, atau lainnya. Untuk gerakan kaki tariannya adalah gerakan kaki yang dinamis, sekaligus pada pergelangan kaki penari dipasang lonceng-lonceng yang berbunyi saat para penari melangkah atau melakukan gerakan menghentak. Untuk gerakan lainnya yakni dengan gerakan selendang, gerakan anggukan dan anggukan, serta eskpresi wajah diikuti dengan kuda-kuda yang membuat gerakan tarian semakin atraktif.
Salah satu jenis kostum yang dipakai penari remo adalah sawonggaling, yang merupakan pakaian ada dari abad 18. Warna pakaiannnya didominasi oleh warna hitam dengan hiasan batik berwarna emas. Pada bagian pinggang dikenakan sabuk dan selendang.

Hari Paling Gokil

Apa kalian tahu siapa namaku? Coba tebak!, hmmm… hayo siapa?, (sambil garuk-garuk kepala), yang pasti namaku bukan Sarijem, bukan pula Marsinah atau Markonah, tapi namaku Mawar Aurella. Biasa dipanggil Mawar. Seorang gadis kelahiran Bandung, keturunuan Sunda. Wajahku biasa saja, tapi banyak yang bilang aku ini cantik, hehe… hidungku, tidak terlalu mancung, juga tidak terlalu pesek, standar kali ya?, wkwkwk… kulitku hitam manis, dan mahkotaku selalu dibiarkan terurai, kadang dihiasi bando atau satu jepit saja.
Sejak tiga bulan yang lalu, aku telah berganti seragam. Dari putih biru menjadi putih abu-abu. Senang sekali rasanya, aku telah menginjak remaja. Banyak orang bilang, remaja itu masa yang paling indah karena mulai mengenal yang namanya C I N T A. *Bilang sekali lagi!, CINTA!.
Aku belum pernah tuh ngerasain jatuh cinta, palingan hanya sekedar suka atau kagum semata. Kata orang jatuh cinta itu, seperti melayang-layang di udara dan banyak bunga bertaburan, malah ada yang lebih parah lagi, kalau sedang jatuh cinta, Pups kucing pun rasa cokelat. WHAT! SAMPAI SEGITUNYA?, entahlah aku belum pernah benar-benar jatuh cinta.
Sejak saat MOPD (Masa Orientasi Peserta Didik, aku mempunyai teman dekat atau bisa dibilang sobat karib. Mereka adalah: Andi Prasetyo, Ana Prameswari dan Nabila azahra.
Setelah Bel istirahat berbunyi, aku, Andi, Ana dan Nabila pergi ke kantin. Hendak mengisi perut yang mulai berdemo ria. Empat sekawan ini, hobi sekali jajan bakso, hampir setiap hari kalau lagi istirahat jajannya itu bakso dan sebotol teh Sosro. Enggak ada bosen-bosennya deh.
Tempat yang paling asyik kalau lagi jajan bakso di kantin itu… bangku yang deretannya paling akhir, alias di pojok. Hmm… memojokan diri?.
“Mau pesen bakso kan?” tanya pelayan kantin yang menghampiri kami.
“Mba, paranormal ya?” tanyaku serius.
“Bukan… bukan..” jawabnya.
“Memang kenapa gitu, War?” tanya Nabila kepadaku.
“Mba ini, udah tahu kalo kita mau makan bakso” ucapku
“Haha, dasar oon!!!, yaiyalah, kita kan sering ke kantin buat jajan bakso” Celoteh Andi.
“Hahaha..” terdengar tawa Nabila dan Ana saling bersahut-sahutan.
“Ihh, kenapa kalian jadi ketawa sih?” gerutuku kesal.
“Abisnya kamu ituuu..” ucap Andi terpotong.
“Kamu apa?” tanyaku semakin kesal.
“Sudahhh… sudah, jadi nggak pesen baksonya?” tanya pelayan kantin yang ikut kesal.
“Hehehe… jadi donk mba, 5 porsi yah… teh-nya juga 5” seru Ana.
“Yaa, tunggu sebentar..” jawab pelayan kantin sambil berlalu.
“Kok lima sih, Na?, emang yang satunya lagi buat siapa?” tanya Andi.
“Buat aku lahhh” jawab Ana dengan ekspresi datarnya.
“Glek..” aku hanya menelan ludah mendengarnya, 2 mangkuk bakso akan dimakan Ana?, kadang-kadang satu mangkuk saja aku tidak habis. Apalagi 2 porsi, bisa-bisa aku mati kekenyangan.
Beberapa saat kemudian, bakso yang kami tunggu pun datang. Tak perlu menunggu waktu lama Ana segera menyantap dua mangkuk bakso-nya.
“Kok kalian semua, ngeliatin aku sih?, ada yang aneh ya?” tanya Ana.
“Udah berapa hari nggak makan, Na?” tanya Nabila dengan mata sedikit terbelalak menyaksikan Ana yang makan begitu rakusnya.
“Tadi pagi juga sarapan kok” ucap Ana dengan ekspresi datarnya sambil terus makan. Tak ada kata yang mampu diucapkan lagi, kami hanya bisa menggeleng-geleng kepala ke kiri dan ke kanan beberapa kali, dan melanjutkan menyantap bakso hingga tak tersisa.
“Mungkin kita harus buat program deh!” seru ku.
“Program apa?” tanya Andi.
“Program diet untuk Ana” jawabku.
Ana yang sedang menikmati teh-nya, kemudian tersedak. “Uhuk… Uhukkk..” Nabila terlihat menepuk-nepuk pundak Ana.
“Wahh, iya… boleh juga tuh” timpal Nabila.
“Aku nggak setuju ah” jawab Ana sambil memegang lehernya.
“Tet…Tet… Tettt” terdengar suara bel pertanda masuk istirahat berbunyi.
“Wahhh… gawat nih, kita harus buru-buru balik ke kelas. Udah istirahat kan pelajaran Matematika, mana gurunya killer lagi, kita nggak boleh telat nih.” ucap Andi.
“Lariii!!!” ucapku, Nabila dan Andi serentak. Kita pun segera berlari menyusuri koridor-koridor kelas. Sialnya lagi, letak kelas kita itu paling ujung, kalau dari kantin tadi sih… cukup jauh!.
Nafas terengah-engah, keringat bercucuran disana-sini. Aduhhhh!, memalukan. Saat membuka pintu, terlihat bu Dian sudah ada di kelas dan menatap aku, Andi dan Nabila tajam. Setajam silet!!!, hohoho.
“Dari mana saja kalian, bukannya kalian sudah tahu. Kalau pelajaran ibu nggak boleh telat satu detik pun!” Bu Dian mulai menginterogasi.
“Maaf bu, tadi kita habis dari kantin” ucap Andi terdengar parau. Aku ingin tertawa terbahak-bahak menyaksikan ekspresinya yang mengkhawatirkan.
“Teman-teman kalian juga banyak yang dari kantin, tapi mereka nggak telat. Lari keliling lapangan 10 kali!” ucap bu Dian sambil membentak.
“Tapi bu” ujar Nabila.
“Nggak ada tapi-tapi, CEPAT!!!” ucap bu Dian dengan suaranya yang memecah keheningan kelas. Dengan terpaksa kita pun segera berlari mengitari lapangan, aduh… mana ada yang olahraga lagi. Jadi bahan tontonan pula. Huhhh, sial… sial…
“Kalian ngerasa ada yang aneh nggak sih?, aku ngerasa ada yang kurang. Tapi apa ya?” tanyaku pada Andi dan Nabila saat mulai berlari.
“Hmm, apa ya?” Nabila ikut berpikir. Dahinya diriutkan. Ujung alisnya terangkat sedikit.
Untuk beberapa saat, berlari dihentikan. “ANA!!!” teriak aku, Andi dan Nabila bersamaan. Kita saling menatap, kok bisa-bisanya si gendut itu sampai terlupakan.
“Kita juga belum bayar bakso!” ucap Andi sambil menepuk jidatnya.
“Terus sekarang kita harus ngapain?” tanya Nabila sambil kebingungan.
“Heii!!!, cepat lari!!!” teriak bu Dian di seberang lapangan. Dia berdiri di depan kelasku.
Dengan langkah yang gontai, kita pun mulai berlari lagi. Huftt… capeknya…
“Cayooo… tinggal satu keliling lagi. Ganbatte!!!” seruku. Dan “Praaaakk” aku pingsan!. Lalu beberapa saat kemudian aku merasakan tubuhku di angkat.
“War… bangun!!!” ucap Andi.
“Bangunnn donk!!!” Nabila juga ikut membangunkanku.
Hmmm, ternyata aktingku bagus juga, hehe… “Duuuaaarrr!!!!” aku segera bangun dan mengagetkan mereka berdua, ternyata benar dugaanku sekarang aku sedang berada di UKS.
Andi dan Nabila hanya terbengong-bengong, jadi nggak kaget nih?, huh… Nabila dengan segera memegang keningku.
“Kamu nggak apa-apa kan War?” tanya Andi.
“Hahaha… aku tuh nggak apa-apa lagi. Tadi tuh Cuma pura-pura pingsan, hehehe” ucapku tanpa merasa bersalah.
“Huh, dasar… berat tahu ngangkat kamu ke sini. Kalau tahu kamu Cuma pura-pura, bakalan disuruh jalan dari lapangan ke UKS” gerutu Nabila.
“Namanya juga pingsan mana bisa jalan donk” seruku sambil menahan tertawa.
“Lagian kenapa kamu kok pura-pura pingsan sih?, bikin khawatir aja tau” gerutu Andi.
“Biar bisa lolos dari pelajaran mengerikan itu, hehe… Peace deh” ucapku.
“Oh, ya… kalau Ana dimana?, dia udah di kelas?, atau masih di kantin?” tanyaku beruntun.
“Nggak tahu tuh, kita ke kantin aja gimana?” ucap Andi.
“Ya, udah… yukk!!!” jawab Nabila.
Waktu di kantin, kita tidak melihat satu pun. Lalu Nabila nekad bertanya pada si mba pelayan tadi.
“Mba, liat temen kita yang satunya lagi nggak?”
“Lagi cuci piring”
“Hah?, kok bisa mba?” tanyaku kaget.
“Tadi kan kalian nggak bayar, malah kabur gitu aja. Terus ketinggalan satu, ya udah sebagai tebusannya. Dia… mba suruh cuci piring” Jawabnya ketus.
“Aduh, maaf ya mba kita lupa. Nih uangnya… bebasin temen kami mbak” Ujar Andi sambil memberikan uang Rp. 50.000.
“Baiklah, tunggu sebentar” Katanya sambil berlalu.
Beberapa saat kemudian, kita bertemu dengan Ana.
“Kalian kok ninggalin aku sih?” gerutunya.
“Maaf Na, kirain waktu kita lari itu… kamu juga ikut lari” ucapku sambil memegang tangan Ana yang basah.
“Hmm, iya deh… yuk, balik ke kelas” Ucap Nabila.
Sepanjang perjalanan ke kelas, aku ceritakan semua peristiwa yang terjadi. Ana pun terpingkal-pingkal dibuatnya. Hari ini adalah hari yang tak akan pernah terlupakan, sederet kegokilan pun terjadi.
Kebahagiaan yang paling indah, ketika kita bisa bersama sahabat.
*** Selesai ***

sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-persahabatan/hari-paling-gokil.html

Love How It Happened

Secara keseluruhan cerita ini gue ambil dari kisah sahabat gue, yang menurut gue kisah cintanya itu beda dari spesies manapun dan gue ga habis fikir kok bisa ada kisah cinta aneh gitu. Tujuan gue bikin cerita ini buat hiburan belaka gak bermaksud buat menghina siapapun, gue bikin supaya orang sejenak lupain kesedihan, sakit hati dan segala macam penyakit jiwa deh.
Nah sebelum gue ceritain kisahnya gue bilang terima kasih buat temen-temen pembaca. Khususnya terimah kasih buat YME udah ngasih gue ide yang gila dan gue bisa bikin cerita yang menggelikan lagi dan langsung saja gue ceritain tentang sahabat gue.
Bagaimana dua orang bisa bertemu dan jatuh cinta?
Di sinetron, ketemuan dengan soulmate di buat sangat gampang. Ada satu episode yang gue tonton, di mana si cwook ketemuan sama cewe pas lagi tabrakan di mall. Mereka tabrakan. Si cowok mangap, pasang lagu D’masiv, 60episode kemudian mereka menikah di sebuah pesta dengan make-up berlebihan (biasanya di tamabah dengan adegan mantan pacar si cewek ada di luar pesta nikahan, nangis di bawah hujan sambil teriak “Tidaaakkk!”). Seperti lazimnya kita tau, tabrakan lalu kawin ini sering terjadi di setiap semua sinetron.
Pada kehidupan nyata bertemu dengan the one sangatlah susah. Jangankan untuk pacaran, untuk kenalan saja susahnya minta ampun. Tapi, begitu ketemu, kemungkinan besar kita tahu bahwa kita telah menemukan orang yang tepat buat di pacarin.
Sama kayak sabahat gue ini yang gue samarin namnya jadi Wati, yang satu ini bertemu dengan seorang cowok itu susah sampai-sampai dia ngehabisin waktu hanya untuk facebook dan mungkin cinta sejatinya itu facebook karena setiap gue buka facebook selalu hadir status dia di beranda gue, ga pernah absen, mungkin kalau facebook di jadiin daftar hadir siswa sekolahan si Wati jadi siswi yang rajin dan mungkin di anugerahi gelar “the best of the best manusia facebook”.
Nah sewaktu ketika gue gosipin si wati sama temen gue namanya abdurahman, gue comblangin wati sama si abdurahman bahwa si wati suka sama si abdurahman dan gue sebarin ke semua orang yang gue kenal, gila gue udah kayak ibu-ibu arisan aja ngegosipin orang. Dan memang si Wati sama si Abdurahman itu udah saling kenal karena mereka satu sekolahan dan kebetulannya eh eh… salah maksud gue kebetulannya mereka sama-sama jomblo jadi apa salahnya gue gosipin mereka.
Akhirnya gosip gue tersebar luas dan semua orang tau, gue ngerasa puas dan rasanya kayak gimana yah kalau di gambarin pake bahasa planet pluto itu “asa bucat bisul” ya begitulah. Suatu ketika si Wati pun nyamperin gue dengan muka kesal dan Wati pun ngomong ke gue.
“deo kenapa sih bikin gosip kayak gitu?” tanya Wati dengan muka kesal
“ya gapapa dong biar jadian biar lo punya pacar.” Jawab gue dengan wajah bloon
“ih ngeselin dasar.”
Lalu dia pergi ke teman-temannya.
Semakin gosip itu mulai terbiasa di telinga Wati dan tanpa di sangka-sangka si Wati pun naksir ke si Abdurahman dan gue tanya.
“Lo suka beneran bukan ke si Abdurahman,” tanya gue.
“enggak, kata siapa,” jawab wati sambil mukanya memerah kayak spongebob nelen obeng.
“yang bener? jujur deh! bohong dosa loh.” kata gue.
“Iyah gue suka.” jawab Wati penuh ketakutan kayak maling di tanya habis nyolong ayam.
“Mau gue combalangin lagi ke si Abdurahman,” tanya gue lagi
“Enggak ah biarin ajah.” Jawab Wati
“Emang lo jadi suka gitu kenapa emangnya.”
“Ya karena gosip itu tiba-tiba gue suka.” Jawab Wati
Wah gue seneng ternyata gak sia-sia padahal niat awal gue nyomblangin mereka hanya buat kepuasan diri gue sendiri. Dan Wati pun pergi dengan muka penuh dengan malu.
Akhirnya gue punya ide kenapa gak gue coba comblangin ke si Abdurahman walaupun kata si Wati gak usah, dan gue pun nyomblangin ke si abdurahman.
“Man si Wati beneran suka loh sama lo.” tanya gue
“Ya biarin lah.” Jawab singkat abdurahman dengan muka sok kalem
“lo kok gitu lo suka gak ke si Wati.” tanya gue lagi
“engga gue gak suka ke si Wati.” Jawab abdurahman
“OH ok deh.”
Gue terkejut si Abdurahman ga suka ke si Wati berarti cinta si Wati bertepuk sebelah kaki dong, eh salah lagi maksud gue sebelah tangan.
Keesokan harinya gue ketemu sama si Wati dan gue ngerasa kasihan lihat dia karena cinta dia bertepuk sebelah tangan dan gue belum ngasih tau sebenarnya ke si Wati bahwa si abdurahman ga suka ke si Wati, gue lihat si Wati masih berharap banget akan cintanya sampai dia nulis di status facebooknya “Cinta ini milik siapa” gue ngerasa kasian banget ke si Wati lihat statusnya penuh dengan harapan, dan sebenarnya gue serasa gue kepingin ngomen gini “cinta lo milik plankton karena plankton lagi mencari-cari cinta sebab istri komputernya ninggalin dia soalnya si plankton sering mikirin cara mencuri krabbypatty” tapi gak jadi karena gak mungkin gue nulis di atas kesedihan orang lain.
Singkat cerita dengan berjalannya waktu gue dapat gosip terbaru ternyata si Wati sudah mempunyai pacar anak pesantren namanya yopi, siapa yopi? Dan gimana bentuk spesies makhluk ini? Misterius sekali. Dan gue bayang-bayangin wajah si yopi ini apakah yopi berwajah muka lonjong, kulit sawo kelewat mateng, hidung gede, rambut ikal apakah itu yopi? Dan setelah gue fikir-fikir ternyata itu drogba pemain bola dan gak mungkin si Wati mau sama orang mirip drogba tersebut. Dan apakah muka yopi itu wajahnya muka oval, kulit putih bersih tidak ada noda sedikit pun, telinga bulet, dan di mukanya gak ada benjolan sedikit pun, apakah nyopi seperti itu? dan setelah gue fikir-fikir lagi ternyata itu mirip hantu muka rata dan mana mungkin si Wati mau punya pacar hantu muka rata seperti itu.
Dan gue nilai dari namanya yopi, gue observasi dan cari-cari wawasan arti nama itu ternyata hasil pengamatan gue nama yopi itu berasal dari sebuah produk permen yang namanya permen “yupi” dan gue lihat dari sejarah permen yupi itu terbuat, karana seseorang yang manciptakan permen tersebut yang bernama Pak yusuf. Pak yusuf pernah kehilangan anaknya yang bernama persis sekali namanya dengan pacar si wati yaitu yopi dan oleh sebab itu untuk mengenang anaknya pak yusuf membuat permen yang bernama “yupi” dan yupi artinya adalah “Yusuf dan yoPI” dan mungkin si yopi itu bisa jadi anak dari bapak tersebut dan gue fikir bila itu terjadi bisa menjadi kisah sinetron yang berjudul “Pangeran yopi yang tertukar”.
Setelah gue cape-cape ngebayangin bermacam-macam, gue ingat bahwa siapapun yopi tersebut entah dia dari planet mana, apakah spesies ini langka atau tidak gue gak tau yang paling penting Wati bahagia sama dia dan nyaman. Amin
Akhirnya si Wati dapetin cinta sejati dia dan ngejalanin kisah cinta yang penuh keindahan. Dan akhirnya gue sadar cara gue ngegosipin, nyomblangin ternyata itu salah dan menurut gue tanpa seseorang di gosipin atau di combalangin sebenarnya mereka bisa mencari cinta mereka masing-masing karena cinta itu ada dimana saja, dan gue baru sadar juga ternyata orang yang penuh dengan kesepian, hampa, menurutnya hidup itu selalu sunyi tanpa ada kasih sayang dan cinta itu adalah orang yang gak sadar bahwa di saat dia seperti itu ada cinta di antara mereka di sekeliling mereka dan mereka terlalu naif buat nyadari itu semua. Dan dari cinta kita mendapat pelajaran berharga dari kita putus pacaran kita bisa belajar arti dari kehilangan dan arti dari menjaga, di saat kita bertengkar dengan pasangan kita bisa belajar arti mempertahankan dan mengenal kepribadian masing-masing. Dan itulah semua analisa kecil gue dan ternyata cinta itu ga seharusnya di cari-cari tanpa di cari pun cinta itu sudah ada di diri setiap manusia.
*maaf bila yang salah tolong di maklum soalnya gue ngerjain ini sambil nundutan dan cerita si wati
gue lupa-lupa inget dan semoga menghibur terima kasih.

Cinta Sampai Disini

Kebohongan itu begitu indah saat keluar dari bibirmu
Penghianatan itu begitu wajar jika km yang melakukannya
Begitu indah kau kuburkan cerita indah kita
Begitu mudah kau berkata..kita “cukup sampai disini”

Aku seperti kehilangan kaki untuk berdiri
Aku seperti kehilangan mata untuk melihat

Bagaimana cara aku melupakanmu
Harus dimana kutempatkan diri ini jika aku bertemu denganmu
Yang aku tau janji dan impian kita tak mungkin lagi terwujud
Yang aku tau semua yg dulu manis kini berubah menjadi sangat menyakitkan

Entah mengapa kau berubah hati padaku
Entah mengapa tak ada kesempatan kedua untukku
Entah mengapa kau begitu mudah putuskan cinta kita
Bahkan entah mengapa sampai kini kau tak pernah katakan,apa salahku
Padahal sudah kugantungkan seluruh harapanku padamu
Padahal sudah kuserahkan segalanya untukmu
Walau kadang terkesan hati ini mengiba atas cintamu
Entahlah, mungkin memang semua ini harus berakhir sampai disini..
Mengapa aku berfikir, jalan ini terlalu pahit dan rumit untuk kulalui…
Mengapa kadang aku berfikir tak ada lagi hari yang harus aku lalui..
Apakah harus kuakhiri hidup sampai disini..
 Aku kecewa
Aku putus asa



Template by Clairvo Yance
Copyright © 2012 Agnez Rully Dyaa and Blogger Themes.